SPECIAL

Rabu, 09 April 2014

Krisis Ukraina, Sadarkan Indonesia Pentingnya Kesadaran dan Wawasan Geopolitik


Di akhir tahun 2010 dan kemudian memasuki tahun 2011 tepatnya di masa-masa awal pembentukan Ikatan alumni UPNVJ, saya dengan beberapa kawan alumni di antaranya Fauzi Abdillah, Dodi Ilham dan Muhammad Syahreza, pernah membicarakan tentang aplikasi Global Furute International, yaitu aplikasi untuk mengumpulkan data trend kawasan untuk membuat data trend keamanan kawasan dan global di masa yang akan datang, yang akan diperkenalkan melalui Seminar Internasional yang berharap dapat diprakarsai oleh ALumni UPNVJ. Namun karena berbagai keterbatasan kondisi, utamanya adalah kesibukan para alumni maka harapan itu belum bisa terwujud.

Maksud dari rencana di atas adalah untuk mengkontribusikan kepada bangsa dan negara bahwa betapa pentingnya kesadaran wawasan geopolitik yang sementara ini masih menjadi pemahaman di kalangan tertentu saja, untuk kemudian rencananya mencoba untuk memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia melalui Seminar Internasional tersebut. Tinjauan dari pihak UPN Veteran Jakarta dan Alumninya tentu adalah tinjauan kampus hijau yang menjadi bagian untuk berperan serta dengan kontribusinya sebagai IKON kampus pertahanan di negeri tercinta ini.

Hingga akhirnya sebuah lembaga yang bernama Global Future Institute akhir-akhir ini sedang gencar mengkampanyekan wawasan global berkait dengan stabilitas kawasan utamanya di idang politik dan ekonomi. Global Future Institute (GFI) telah meluncurkan edisi kelima jurnal berkalanya, The Global Review Quarterly dengan mengangkat tema: Gagalnya Revolusi Warna di Ukraina. Yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi terbatas yang diikuti oleh beberapa elemen strategis baik dari jajaran birokrasi pemerintahan, perguruan tinggi, organisasi massa, kamar dagang dan industri (KADIN), maupun dari kalangan mahasiswa.

Dalam kata pengantar diskusi, Direktur Eksekutif GFI Hendrajit menggarisbawahi dua hal penting. Pertama, Indonesia sebagai bagian integral dari berbagai elemen strategis bangsa, mutlak perlu menyimak dan mengkaji berbagai faktor dan dinamika politik yang berkembang, seperti kondisi di Ukraina.

Kedua, dengan menarik hikmah dan pelajaran dari kasus Ukraina, khususnya dengan tumbangnya Presiden Viktor Yanukovich sebagai akibat dari konspirasi antara AS-Uni Eropa dan partai-partai oposisi di Ukraina, maka betapa pentingnya bagi suatu negara untuk memahami dan mengenali nilai strategis wilayah geopolitiknya. Sebab jika tidak, lanjut Hendrajit, maka sejatinya kita sedang membuka pintu yang seluasnya kepada berbagai kepentingan asing, untuk membangun dan menanamkan lingkup pengaruhnya di bumi nusantara.

Pandangan Hendrajit dengan serta merta diperkuat oleh Dr Santos Winarso Dwiyogo, Kepala Divisi Hubungan Bilateral Hubungan Internasional Kantor Sekretariat Wakil Presiden RI, yang diundang secara khusus oleh GFI sebagai pembicara. Menurut Dr Santos, sebagai bukti betapa pentingnya sebuah negara memahami nilai strategis wilayah geopolitiknya, hal itu telah dibuktikan secara nyata oleh Rusia, dalam mengantisipasi campur tangan AS dan Uni Eropa dalam penggulingan Presiden Yanukovich.

“Kalau dulu teori-teori geopolitik yang bertumpu pada McKinder, Alfred Mahan dan Nickolas Spike dimanfaatkan oleh Amerika dan Inggris untuk mengepung Rusia dan melemahkan Jerman yang ketika itu merupakan musuh dari AS dan Inggris, maka sekarang justru sebaliknya. Rusia lah yang justru memanfaatkan teori-teori geopolitik para pakar tersebut untuk memperkuat kepentingan strategis negara beruang merah tersebut.”

Dengan kata lain Dr Santos hendak menegaskan bahwa teori-teori geopolitik Mckinder dan Mahan yang menekankan betapa pentingnya menguasai Heartland (Timur Tengah dan Asia Tengah) agar bisa menguasai dunia, sekarang Rusia telah menerapkan teori geopolitik tersebut untuk membendung pengaruh AS dan Uni Eropa di kedua kawasan tersebut.

Kita lihat bagaimana Rusia dan Cina, sejak 2001 lalu, membuat persekutuan strategis Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang pada hakekatnya ditujukan untuk membendung pengaruh AS di kawasan Asia Tengah.

Nampaknya, pentingnya membangun kesadaran dan wawasan geopolitik, isu utama yang mencuat dalam forum diskusi tersebut. Entjeng Shobirin, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), bahkan memandang kasus Ukraina ini agar menjadi bahan pelajaran berharga bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.

“Menurut saya dengan mengkaji dan mendalami kasus Ukraina, pemerintah dan berbagai elemen masyarakat Indonesia sudah saatnya menyadari betapa pentingnya memperjelas orientasi kebijakan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif, sehingga kejelasan politik luar negeri yang bertumpu pada kesadaran dan wawasan geopolitik kita, pada perkembangannya akan memperjelas peta permasalahan yang dihadapi oleh kita sebagai bangsa baik kini maupun kelak,” begitu ungkap Shobirin.

Senada dengan GFI, Entjeng Shobirin secara khusus menaruh keprihatinan besar terhadap lemahnya kewaspadaan nasional dari beberapa institusi kenegaraan kita. Maka terkait dengan tema bahasan yang digelar oleh GFI, Shobirin menyarankan agar dalam kajian-kajian GFI mendatang, untuk mengangkat sebuah tema yang cukup strategis: SKENARIO DISINTEGRASI NASIONAL.

Dr Wirawan, anggota Komite Rusia di Kamar Dagang dan Industri (KADIN), menggarisbawahi tiga hal penting.

Pertama, bersepakat dengan pandangan pada forum diskusi bahwa kemampuan Rusia dalam menghadapi dan menyikapi perkembangan di Ukraina pasca kejatuhan Yanukovich dengan menggerakkan pasukannya ke Crimea, telah mempertunjukkan kepada dunia internasional betapa Rusia sangat memahami dan mengenali kekuatan wilayah geopolitiknya maupun tujuan-tujuan tersembunyi dari negara-negara rivalnya seperti AS dan Uni Eropa, untuk menguasai dan membangun lingkup pengaruhnya di Ukraina.

Keputusan Presiden Vladimir Putin untuk menguasai Crimea yang wilayahnya berada dalam kedaulatan Ukraina, membuktikan kemampuan Rusia membaca dan mengenali nilai strategis wilayah geopolitik Crimea terkait kepentingan strategis Rusia dalam melawan skenario pengepungan AS dan Uni Eropa melalui Ukraina. Itulah sebabnya Skenario Revolusi Warna yang coba dimainkan dengan mendukung partai-partai oposisi menggulingkan Yanukovich, pada akhirnya justru jadi titik balik bagi Amerika di Ukraina. Semula sepertinya akan menang, ternyata akhirnya akan menuai kekalahan.

Kedua, Wirawan mendesak pemerintah Indonesia agar menjalin hubungan yang lebih erat dengan Rusia. Karena menurut Wirawan, berdasarkan berbagai informasi yang dia serap ketika berkomunikasi dengan berbagai elemen strategis Rusia, saat ini Rusia memandang Indonesia sebagai negara sahabat. Bahkan setingkat lebih tinggi dari sekadar sahabat. Jadi menurut Wirawan, yang saat ini juga aktif sebagai salah satu pengurus Persatuan Putra-Putri Purnawirawan Angkatan Udara (P3AU), inilah momentum bagi Indonesia dan Rusia untuk menjalin hubungan yang semakin erat di semua bidang.

Aspek ketiga yang digulirkan oleh Wirawan adalah soal Papua. Belajar dari kasus Ukraina, pemerintah Indonesia sebaiknya memperhatikan betula soal Papua. Karena gerakan untuk meng-internasionalisasi Papua di forum-forum internasional, semakin gencar dilakukan.

Pentingnya Indonesia mewaspadai perkembangan di Papua, juga didukung oleh Entjeng Shobirin. Karena menurut Entjeng, Gerakan Papua Raya yang semakin gencar dikumandangkan oleh elemen-elemen OPM(Organisasi Papua Merdeka), pada perkembangannya bisa menginspirasi Gerakan Separatis Dayak di Kalimantan Barat.

Informasi lapangan yang disampaikan Entjeng Shobirin nampaknya seiring dengan gagasan yang dia lontarkan sebelumnya agar GFI mengangkat tema SKENARIO DISINTEGRASI NASIONAL dalam kajian-kajian khususnya ke depan, baik melalui jurnal berkala maupun di situs the global review.

Karena itu Shobirin menyarankan agar melalui GFI, pemerintah Indonesia perlu didesak agar memperjelas arah dan orientasi kebijakan luar negerinya karena dengan begitu kepentingan nasional RI bisa terpetakan dengan jelas, sehingga kepentingan nasional menjadi konkrit di mata masyarakat.

Usmar Ismail, Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Dr Mustopo Beragama, merasa perlu mengingatkan forum diskusi bahwa perkembangan yang terjadi di Ukraina sangat menggelisahkan bagi kita di Indonesia. Karena itu Usmar mengingatkan agar Rekomendasi Rand Corporation yang pernah diajukan kepada mantan Presiden Bill Clinton pada 1998 agar Indonesia dibagi jadi 7 bagian, harus tetap menjadi dasar bagi para pemangku kepentingan nasional (stakeholders) politik dan keamanan nasional Indonesia, untuk memperkuat kewaspadaaan nasional Indonesia.

Seruan Entjeng Shobirin dibenarkan oleh Kepala Sub-Direktorat Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL) Kementerian Dalam Negeri Bachtiar, yang merasa perlu menegaskan bahwa masih banyak aparat-aparat birokrasi pemerintahan yang menaruh perhatian besar dalam pengembangan kesadaran dan wawasan geopolitik. Dan Kementerian Dalam Negeri khususnya KESBANGPOL, terbuka untuk ikut serta dalam program penguatan kesadaran geopolitik tersebut. Dan dalam hal ini, mengapresiasi langkah-langkah yang sudah dirintis oleh teman-teman yang tergabung dalam GFI.

Menanggapi Entjeng, Wirawan dan Bachtiar, Dr Santos mengajukan beberapa usulan menarik. terkait Gerakan Sadar Geopolitik. Antara lain dengan:
  1. Membuat Geopolitik Media untuk menginformasikan apa dan bagaimana Indonesia.
  2. Reorientasi Kebijakan Pertahanan/Keamanan yang bertumpu pada Takdir Geopolitik Kita yang berbasis Maritim/Kelautan.
  3. Perlunya Penguataan Indoensian Overseas (Sebagai komunitas intelijen Indonesia di luar negeri).
  4. Menaruh perhatian khusus pada Laut Cina Selatan sebagai Titik Pusat Konflik Global.
  5. Reorientasi Kebijakan Pangan dan Energi.
  6. Penguatan Fungsi Birokrasi
  7. Penguatan Pendidikan Tinggi dan Studi Sejarah Indonesia
  8. Penguatan Otonomi atas dasar Pemberdayaan Lokal.
  9. Penyelesaian Papua secara tuntas dan Mendasaar.
  10. Penguatan Kurikulum Pendidikan
  11. Peningkatan Kapasitas Industri Strategis.
Para Peserta Forum Diskusi Terbatas GFI:
  1. Dr Santos Winarso Dwiyogo. Kantor Wakil Presiden RI.
  2. Bachtiar, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri.
  3. Entjeng Shobirin, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
  4. Wirawan, Komite Rusia Kamar Dagang dan Industri (KADIN).
  5. Usmar Ismail, Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Dr Mustopo Bergama
  6. Benny Iqbal, Peneliti Senior Forum Dialog Nusantara.
  7. Igor Dirgantara, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Jayabaya.
  8. Prima MA, Direktur Eksekutif Center for Energy dan Strategic Research Indonesia (CESRI).
  9. Rahmad, Yayasan ABI.
  10. Teguh Esha, Novelis dan Pegiat Seni-Budaya.
  11. Mohamad Kusairi, Pemimpin Redaksi Majalah Energi Indopetro.
  12. Santoso, Mahasiswa Universitas Bung Karno.
  13. Ridwan, Mahasiswa Universitas Mustopo
  14. Teuku Wildan, Universitas Mustopo.
  15. Mega Prativi, Mahasiswi Universitas Mustopo.
  16. Hafdal Syahputra, Mahasiswa Universitas Mustopo.
  17. Malinda D, Mahasiswi Universitas Indonesia dan Pengurus Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS).
  18. Claudia RA, Mahasiswi Universitas Indonesia dan ISAFIS.
  19. Dewi Larasati, Universitas Indonesia dan ISAFIS.
  20. Hernizar Rahman, Mahasiswa Universitas Indonesia dan ISAFIS.
  21. Zidny Ilman, Mahasiswa Universitas Indonesia dan ISAFIS.
  22. Amang, Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK)
  23. Rusman Rusli, Direktur Korporasi GFI.
  24. Ferdiansyah Ali, Direktur Program GFI.
  25. Hari Samputra Agus, Anggota Dewan Pendiri GFI.
Penulis : Tim Redaksi The Global Review plus.

0 comments:

Posting Komentar