Masih ingat lagu ini : “…nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudera, menerjang ombak tiada tara, menggulung badai sudah biasa…”
Lagu di atas menggambarkan kejayaan masa
lampau dari nenek moyang kita di bidang maritim. Salah satu kerajaan
nusantara yang sangat kuat di bidang maritimnya adalah Majapahit. bahkan
angkatan lautnya konon salah satu angkatan laut terbesar di dunia pada
masa itu. Nah, untuk mengetahui seputar Angkatan Laut Majapahit, berikut
saya sampaikan uraiannya sebagai upaya untuk menumbuhkan kembali
kebanggaan kita sebagai bangsa yang besar.
Konon rahasia kekuatan laut Majapahit sejak jaman Gajah Mada yaitu terletaknya pimpinan yang dipegang oleh Mpu Nala sebagai
panglima tertinggi. Mpu Nala dalam membangun kekuatan laut yang
tersohor kala itu, beliau menemukan sejenis pohon raksasa yang
dirahasiakan lokasinya, untuk membangun kapal-kapal Majapahit yang
berukuran besar di masa itu. Persenjataan kapal-kapal Majapahit berupa
meriam Jawa. Konon Gajah Mada kecil pernah diasuh oleh tentara Mongol
yang dikirim Kublai Khan menyerbu Jawa guna membalas penghinaan yang
dilakukan oleh Prabu Kertanegara mencoreng-coreng wajah utusan Tiongkok
yang menuntut agar Singosari tunduk di bawah kekuasaan Tiongkok. Gajah
Mada diajarkan oleh pengasuhnya orang Mongol itu mengenai prinsip
senjata api sederhana. Selanjutnya Gajah Mada mengembangkan senjata api
itu untuk mempersenjatai kapal-kapal perang Majapahit ciptaan Mpu Nala
yang istimewa itu, hingga mampu merajai wilayah di perairan Selatan (Nan
Yang).
Keturunan Mpu Nala terus melanjutkan
kepemimpinan militer Majapahit. Mpu Nala II tidak segemilang
pendahulunya apalagi militer laut sudah demikian parah dalam melakukan
tindak korupsi di wilayah kekuasaan masing-masing, sehingga rakyat tidak
lagi menghormati kekuasaan pemerintahan pusat. Dan menurunkan wibawa
Majapahit di kalangan kerajaan taklukannya.Di masa kehancuran itu Mpu
Nala II tidak segemilang pendahulunya. Sehingga seperti yang terjadi
kemudian, kekuatan laut yang tersohor di Nan Yang itu saling bertempur
satu kapal dengan kapal yang lain.
Kapal-Kapal Majapahit
Kapal Jung, Sang Raksasa Lautan!
kapal borobudur
“Orang
Jawa sangat berpengalaman dalam seni navigasi. Mereka dianggap sebagai
perintis seni paling kuno ini. Walaupun banyak yang menunjukkan bahwa
orang Tionghoa lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa
seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa.”
Demikian tulis Diego de Couto
dalam buku Da Asia, terbit 1645. Bahkan, pelaut Portugis yang
menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan, orang
Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan
Madagaskar. Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16
berkulit cokelat seperti orang Jawa. “Mereka mengaku keturunan Jawa,”
kata Couto, sebagaimana dikutip Anthony Reid dalam buku Sejarah Modern
Awal Asia Tenggara.
Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan
Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini
didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini
menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa,
dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota
orang Jawa.
Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal
Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan
internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan
kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti kepiawaian
orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi
Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik – belakangan disebut sebagai
“Kapal Borobudur”.
KONSTRUKSI KAPAL
Konstruksi perahu bercadik sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai
menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada
pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung
haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan
dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat.
Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya
dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi. Selain itu kapal
Tiongkok memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk
buritan.
Kapal Borobudur telah memainkan peran
besar dalam segenap urusan orang Jawa di bidang pelayaran, selama
beratus ratus tahun sebelum abad ke-13. Memasuki awal abad ke-8, peran
kapal Borobudur digeser oleh kapal kapal Jawa yang berukuran lebih
besar, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung. Pelaut Portugis
menyebut juncos, pelaut Italia menyebut zonchi. Istilah jung dipakai
pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odrico, Jonhan de
Marignolli, dan Ibn Battuta yang berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14
mereka memuji kehebatan kapal Jawa berukuran raksasa sebagai penguasa
laut Asia Tenggara. Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dengan
pengerjaan kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa
menggunakan paku.
Gambaran tentang jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de
Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511.
Orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal usul jung-jung terbesar.
Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk
menyerang armada Portugis.
Disebutkan, jung Jawa memiliki empat
tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan
tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600
ton, melebihi kapal perang Portugis. Jung terbesar dari Kerajaan Demak
bobotnya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan
Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisa
dikatakan, kapal jung jawa ini disandingkan dengan kapal induk di era
modern sekarang ini.
“Anunciada (kapal Portugis yang terbesar
yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai
sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa.” tulis pelaut Portugis
Tom Pires dalam Summa Orientel (1515). Hanya saja jung Jawa raksasa ini,
menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dedengan kapal-kapal
portugis yang lebih ramping dan lincah. Dengan begitu, armada Portugis
bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka.
Ilustrasi armada VOC
Pernah menjadi penguasa dunia.
Puncak
kejayaan Majapahit terukir pada 1450-an. Bayangkan, ketika itu wilayah
kekuasaan Jawa mencakup luas mulai dari Nusantara, Indocina, China, dan
India. Kejayaan tersebut tak terlepas dari penguasaan teknologi kapal
laut yang memang saat ini menjadi satu-satunya
transportasi laut yang menghubungkan daerah-daerah kekuasaannya. Kapal Jong Majapahit sangatlah disegani.
Menurut
Irawan Djoko Nugroho dalam bukunya Majapahit Peradaban Maritim (2011),
jumlah armada Jong Majapahit ketika itu mencapai 400 kapal. Bandingkan
dengan armada kapal yang dimiliki VOC (Belanda), EIC, Spanyol, dan
Portugis pada tahun sesudahnya (1674). Kalau kekuatan itu digabung,
mereka yang menguasai India, Nusantara, Indocina, dan China hanya
memiliki 124 kapal.
Kapal-kapal itu biasanya dilengkapi dengan empat layar yang terbuat dari tanaman yang dianyam. Ketika angin berembus, layar-layar itu mudah digerakkan sesuai arah angin. Dengan demikian, laju kapal dapat bergerak lincah sesuai tujuan. Sekali lagi, Jawa telah menunjukkan penguasaan teknologi maritimnya. Coba bandingkan dengan kapalkapal perintis yang dibuat bangsa Eropa.
Kapal Gracedieu buatan Inggris pada 1418 misalnya, memiliki panjang hanya 54 meter. Lagi pula kapal ini tak mampu berlayar. Bertahun-tahun hanya mengapung dan akhirnya ludes terbakar dilalap si jago merah. Lalu, diluncurkan Kapal Christoporus Columbus pada 1492 dan Vasco da Gama (1497). Kapal-kapal tersebut hanya memiliki kapasitas masing-masing 88 dan 171 penumpang.
“Kapal-kapal besar Eropa baru hadir setelah melewati hubungan interkasi dengan kapal-kapal yang digunakan di wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh kuat dari Jawa,” ungkap Irawan. Fakta tersebut menunjukkan, perdagangan yang dikelola Jawa jauh melampaui gabungan pedagang besar di wilayah Eropa.
Kedigdayaan Jawa ketika itu benar-benar tak ada yang mampu menandinginya. Dengan armada laut yang kuat dan gagah perkasa itulah, para pendahulu kita mampu mengendalikan pelabuhan-pelabuhan yang menjadi sumber perekonomian Nusantara. Tak berlebihan kalau tempo dulu (abad ke-12) Jawa sangat termasyhur di jagat raya.
Bahkan seorang ekonom China pernah menulis, dari semua kerajaan asing yang kaya raya (memiliki cadangan devisa berlimpah ruah), kehebatan bangsa She-p’o (Jawa) berada di urutan kedua setelah bangsa Ta-shih (Arab). Urutan ketiga ditempati San-fo-Chi (Sriwijaya). Marco Polo mengungkapkan, jumlah emas yang dikumpulkan Majapahit lebih banyak daripada yang dihitung dan hampir tidak dapat dipercaya. Jawa menjadi pemegang rekor sebagai kerajaan yang paling banyak memiliki cadangan logam mulia tersebut.
Uniknya lagi, cadangan tersebut bukan berasal dari perut bumi di tanah Jawa. Bongkahan emas-emas itu dikumpulkan melalui aktivitas pengendalian pelabuhan-pelabuhan di dunia. Saking kaya rayanya Jawa, membuat bangsa Mongol pernah menargetkan penyerangan besar-besaran di wilayah Jawa yang berada di Samudra Selatan (Samudra Hindia). Namun mereka tak pernah berhasil mewujudkan impiannya itu.
Barus dan Cengkeh
Selain menguasai teknologi perkapalan dan navigasi (peta), Nusantara juga diperkuat dengan kekuatan agraris yang tiada tara. Dari ujung daratan Sumatra Utara, tepatnya di Kota Barus, dulu dikenal sebagai penghasil kapur barus yang diperoleh dari pohon kamper (Dryobalanops aromatica). Barus sudah menjadi catatan tertua ahli filsafat termasyhur dari Alexandra, Ptolemaeus sebagai penghasil bahan pengawet yang harganya melebihi emas.
Sudah menjadi rahasia umum kalau jasad Raja Mesir Kuno, Firaun masih utuh hingga kini lantaran dibalsem dengan menggunakan kapur barus asal Nusantara. Sejarah mencatat, sejak tahun 3000 Sebelum Masehi (SM), kapur barus telah melanglang buana ke Mesir. Hal ini menunjukkan, Jawa dan Mesir sudah lama melakukan diplomasi niaga melalui armada laut. Kapur barus ini sudah diniagakan sejak 6.000 tahun silam.
Tak ada cara lain, perdagangan tersebut dapat terjadi melalui angkutan kapal laut. Bergeser ke timur, tepatnya di Maluku, juga terhampar luas cengkeh yang kelak di kemudian hari membuat Belanda sangat bernafsu untuk menguasainya. Catatan mengenai popularitas cengkeh dari Maluku dikemukakan arkeolog Giorgio Buccellati. Dari rumah seorang pedagang di Terqa, Efrat Tengah pada 1700 SM, ia menemukan wadah berisi cengkeh.
Ketika itu di dunia, cengkeh hanya diketahui dapat tumbuh di pulau-pulau kecil di Maluku. Rempah-rempah ini telah menjadi barang berharga bagi para pembesar yang dapat digunakan untuk aneka keperluan mulai dari perasa makanan, minuman, obat-obatan, dan rokok lantaran memiliki cita rasa prima. Cengkeh Maluku bisa sampai ke Efrat tersebut berkat peran para pelaut Jawa yang dengan gagah berani mampu menaklukkan samudra luas hingga ke Timur Tengah, Eropa, dan Cina.
Kalau sekarang ini ekonomi Indonesia terpuruk dan kalah jauh dibandingkan dengan kekuasaan Jawa tempo dulu, tentu ada yang salah dalam membangun dan menata bangsa ini. Laut yang harusnya menjadi pemersatu bangsa terkesan dibiarkan, tak diurus sebaik-baiknya. Terbukti, pelayaran niaga yang melayani ekspor-impor di perairan Nusantara kini dikuasai asing.
Dari seluruh kapal niaga yang melayani kebutuhan tersebut, hanya 10 persen yang berbendara Indonesia. Sisanya, yang 90 persen dioperasikan oleh pihak asing. Ya, kini kita seperti menjadi penonton di rumah sendiri. Kita telah tega meninggalkan sejarah gemilang yang telah terukir itu.
Agar Nusantara Kembali Bersinar
Rakyat Jawa telah menjelma menjadi budak-budak dari kolonialis tersebut.
Popularitas Jawa (Nusantara) mulai meredup ketika para penguasa melupakan lautnya. Itulah yang tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa. Dominasi niaga laut Jawa berakhir saat panglima Pajang Senapati memberontak terhadap ahli waris sah Kerajaan Pajang. Lebih dari itu, Senapati malah membubarkan dan menelantarkan armada laut yang selama ini menjadi kedigdayaan Nusantara.
Ia mengisolasi Jawa dari luar. Akibatnya, dominasi negara maritim yang pernah berjaya itu terus meredup. Apalagi para penerus Panembahan Senapati senantiasa menakutnakuti rakyatnya agar tidak melaut dengan kisah angker Nyi Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan Jawa. Perilaku raja yang meminggirkan negara maritim dan melupakan sejarah kejayaan sebagai penguasa dunia itu mengakibatkan Jawa kian terpuruk.
Hal ini pula yang mendorong bangsa Eropa, khususnya Belanda, dengan mudah menaklukkan Jawa. Sebagaimana dikatakan Raja Mongol, Kubilai Khan, jika pasukan Mongol mampu mengalahkan Jawa maka negara-negara lain akan tunduk dengan sendirinya. Ia yakin dengan ucapannya itu karena memang tidak mudah menaklukkan tentara dan dominasi niaga yang dibangun Jawa. Sepanjang kariernya, Mongol kalah telak melawan pasukan perang dari Jawa. Prediksi Kubilai Khan memang benar.
Ketika Belanda berhasil menaklukkan dan menguasai Jawa dengan mudah karena memang minim perlawanan dari penguasa Jawa, sejak saat itulah VOC terus berkibar. Ia memonopoli perniagaan hampir setara dengan yang dikuasai Jawa. Sejak itulah, hari demi hari Jawa penuh dengan kegelapan. Nasibnya serupa dengan Eropa pasca-Romawi. Bahkan lebih tragis lagi, rakyat Jawa telah menjelma menjadi budak-budak dari kolonialis tersebut.
Karena itu, pesan Pontjo Sutowo, Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, tampaknya dapat menjadi renungan bagi kita semua. Ia mengatakan, jika kita ingin mewujudkan kehidupan masyarakat bangsa yang maju, modern, sejahtera, dan menjadi adidaya maka kita harus tetap di laut dan menguasai kembali lautan. “Karena itu kita harus menyatukan tekad untuk membangun patriotisme baru yang memiliki akar sejarah yang kuat. Yakni, semangat maritim dengan nilai-nilai budaya kemaritimannya,” ujar Pontjo.
Dengan kata lain, Indonesia dapat bersinar lagi di kancah perekonomian global jika dan hanya jika seluruh pemimpin negeri memiliki kebijakan kuat di laut. Apalagi sekitar 70 persen wilayah Indonesia berupa laut. Tak hanya itu. Indonesia adalah negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dengan keunggulan komparatif tersebut dan didukung sejarah budaya maritim yang kuat, dan kemauan untuk berubah maka niscaya kita mampu mengembalikan kejayaan Nusantara di masa silam.
Sejak Abad III
Berdasarkan catatan sejarah dari China dan Portugis, Jawa atau Nusantara
melakukan berbagai pelayaran menyeberangi Samudra Hindia dengan kapal
besar ke Madagaskar pada abad ke-3 hingga ke-17. Kapal berbobot lebih
dari 500 ton itu tentu saja termasuk kapal tercanggih di zamannya. Bukan
apa-apa, kapal layar berukuran panjang sekitar 70 meter itu mampu
membawa penumpang sebanyak 600 orang.
Kapal-kapal itu biasanya dilengkapi dengan empat layar yang terbuat dari tanaman yang dianyam. Ketika angin berembus, layar-layar itu mudah digerakkan sesuai arah angin. Dengan demikian, laju kapal dapat bergerak lincah sesuai tujuan. Sekali lagi, Jawa telah menunjukkan penguasaan teknologi maritimnya. Coba bandingkan dengan kapalkapal perintis yang dibuat bangsa Eropa.
Kapal Gracedieu buatan Inggris pada 1418 misalnya, memiliki panjang hanya 54 meter. Lagi pula kapal ini tak mampu berlayar. Bertahun-tahun hanya mengapung dan akhirnya ludes terbakar dilalap si jago merah. Lalu, diluncurkan Kapal Christoporus Columbus pada 1492 dan Vasco da Gama (1497). Kapal-kapal tersebut hanya memiliki kapasitas masing-masing 88 dan 171 penumpang.
“Kapal-kapal besar Eropa baru hadir setelah melewati hubungan interkasi dengan kapal-kapal yang digunakan di wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh kuat dari Jawa,” ungkap Irawan. Fakta tersebut menunjukkan, perdagangan yang dikelola Jawa jauh melampaui gabungan pedagang besar di wilayah Eropa.
Kedigdayaan Jawa ketika itu benar-benar tak ada yang mampu menandinginya. Dengan armada laut yang kuat dan gagah perkasa itulah, para pendahulu kita mampu mengendalikan pelabuhan-pelabuhan yang menjadi sumber perekonomian Nusantara. Tak berlebihan kalau tempo dulu (abad ke-12) Jawa sangat termasyhur di jagat raya.
Bahkan seorang ekonom China pernah menulis, dari semua kerajaan asing yang kaya raya (memiliki cadangan devisa berlimpah ruah), kehebatan bangsa She-p’o (Jawa) berada di urutan kedua setelah bangsa Ta-shih (Arab). Urutan ketiga ditempati San-fo-Chi (Sriwijaya). Marco Polo mengungkapkan, jumlah emas yang dikumpulkan Majapahit lebih banyak daripada yang dihitung dan hampir tidak dapat dipercaya. Jawa menjadi pemegang rekor sebagai kerajaan yang paling banyak memiliki cadangan logam mulia tersebut.
Uniknya lagi, cadangan tersebut bukan berasal dari perut bumi di tanah Jawa. Bongkahan emas-emas itu dikumpulkan melalui aktivitas pengendalian pelabuhan-pelabuhan di dunia. Saking kaya rayanya Jawa, membuat bangsa Mongol pernah menargetkan penyerangan besar-besaran di wilayah Jawa yang berada di Samudra Selatan (Samudra Hindia). Namun mereka tak pernah berhasil mewujudkan impiannya itu.
Barus dan Cengkeh
Selain menguasai teknologi perkapalan dan navigasi (peta), Nusantara juga diperkuat dengan kekuatan agraris yang tiada tara. Dari ujung daratan Sumatra Utara, tepatnya di Kota Barus, dulu dikenal sebagai penghasil kapur barus yang diperoleh dari pohon kamper (Dryobalanops aromatica). Barus sudah menjadi catatan tertua ahli filsafat termasyhur dari Alexandra, Ptolemaeus sebagai penghasil bahan pengawet yang harganya melebihi emas.
Sudah menjadi rahasia umum kalau jasad Raja Mesir Kuno, Firaun masih utuh hingga kini lantaran dibalsem dengan menggunakan kapur barus asal Nusantara. Sejarah mencatat, sejak tahun 3000 Sebelum Masehi (SM), kapur barus telah melanglang buana ke Mesir. Hal ini menunjukkan, Jawa dan Mesir sudah lama melakukan diplomasi niaga melalui armada laut. Kapur barus ini sudah diniagakan sejak 6.000 tahun silam.
Tak ada cara lain, perdagangan tersebut dapat terjadi melalui angkutan kapal laut. Bergeser ke timur, tepatnya di Maluku, juga terhampar luas cengkeh yang kelak di kemudian hari membuat Belanda sangat bernafsu untuk menguasainya. Catatan mengenai popularitas cengkeh dari Maluku dikemukakan arkeolog Giorgio Buccellati. Dari rumah seorang pedagang di Terqa, Efrat Tengah pada 1700 SM, ia menemukan wadah berisi cengkeh.
Ketika itu di dunia, cengkeh hanya diketahui dapat tumbuh di pulau-pulau kecil di Maluku. Rempah-rempah ini telah menjadi barang berharga bagi para pembesar yang dapat digunakan untuk aneka keperluan mulai dari perasa makanan, minuman, obat-obatan, dan rokok lantaran memiliki cita rasa prima. Cengkeh Maluku bisa sampai ke Efrat tersebut berkat peran para pelaut Jawa yang dengan gagah berani mampu menaklukkan samudra luas hingga ke Timur Tengah, Eropa, dan Cina.
Kalau sekarang ini ekonomi Indonesia terpuruk dan kalah jauh dibandingkan dengan kekuasaan Jawa tempo dulu, tentu ada yang salah dalam membangun dan menata bangsa ini. Laut yang harusnya menjadi pemersatu bangsa terkesan dibiarkan, tak diurus sebaik-baiknya. Terbukti, pelayaran niaga yang melayani ekspor-impor di perairan Nusantara kini dikuasai asing.
Dari seluruh kapal niaga yang melayani kebutuhan tersebut, hanya 10 persen yang berbendara Indonesia. Sisanya, yang 90 persen dioperasikan oleh pihak asing. Ya, kini kita seperti menjadi penonton di rumah sendiri. Kita telah tega meninggalkan sejarah gemilang yang telah terukir itu.
Agar Nusantara Kembali Bersinar
Rakyat Jawa telah menjelma menjadi budak-budak dari kolonialis tersebut.
Popularitas Jawa (Nusantara) mulai meredup ketika para penguasa melupakan lautnya. Itulah yang tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa. Dominasi niaga laut Jawa berakhir saat panglima Pajang Senapati memberontak terhadap ahli waris sah Kerajaan Pajang. Lebih dari itu, Senapati malah membubarkan dan menelantarkan armada laut yang selama ini menjadi kedigdayaan Nusantara.
Ia mengisolasi Jawa dari luar. Akibatnya, dominasi negara maritim yang pernah berjaya itu terus meredup. Apalagi para penerus Panembahan Senapati senantiasa menakutnakuti rakyatnya agar tidak melaut dengan kisah angker Nyi Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan Jawa. Perilaku raja yang meminggirkan negara maritim dan melupakan sejarah kejayaan sebagai penguasa dunia itu mengakibatkan Jawa kian terpuruk.
Hal ini pula yang mendorong bangsa Eropa, khususnya Belanda, dengan mudah menaklukkan Jawa. Sebagaimana dikatakan Raja Mongol, Kubilai Khan, jika pasukan Mongol mampu mengalahkan Jawa maka negara-negara lain akan tunduk dengan sendirinya. Ia yakin dengan ucapannya itu karena memang tidak mudah menaklukkan tentara dan dominasi niaga yang dibangun Jawa. Sepanjang kariernya, Mongol kalah telak melawan pasukan perang dari Jawa. Prediksi Kubilai Khan memang benar.
Ketika Belanda berhasil menaklukkan dan menguasai Jawa dengan mudah karena memang minim perlawanan dari penguasa Jawa, sejak saat itulah VOC terus berkibar. Ia memonopoli perniagaan hampir setara dengan yang dikuasai Jawa. Sejak itulah, hari demi hari Jawa penuh dengan kegelapan. Nasibnya serupa dengan Eropa pasca-Romawi. Bahkan lebih tragis lagi, rakyat Jawa telah menjelma menjadi budak-budak dari kolonialis tersebut.
Karena itu, pesan Pontjo Sutowo, Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, tampaknya dapat menjadi renungan bagi kita semua. Ia mengatakan, jika kita ingin mewujudkan kehidupan masyarakat bangsa yang maju, modern, sejahtera, dan menjadi adidaya maka kita harus tetap di laut dan menguasai kembali lautan. “Karena itu kita harus menyatukan tekad untuk membangun patriotisme baru yang memiliki akar sejarah yang kuat. Yakni, semangat maritim dengan nilai-nilai budaya kemaritimannya,” ujar Pontjo.
Dengan kata lain, Indonesia dapat bersinar lagi di kancah perekonomian global jika dan hanya jika seluruh pemimpin negeri memiliki kebijakan kuat di laut. Apalagi sekitar 70 persen wilayah Indonesia berupa laut. Tak hanya itu. Indonesia adalah negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dengan keunggulan komparatif tersebut dan didukung sejarah budaya maritim yang kuat, dan kemauan untuk berubah maka niscaya kita mampu mengembalikan kejayaan Nusantara di masa silam.
0 comments:
Posting Komentar