Manuver Penting Setelah Mati Suri
PT Dirgantara Indonesia mulai menggeliat setelah sekian tahun lunglai tak berdaya. Mulai 2009, perusahaan pembuat pesawat itu telah mencatatkan laba. Kini restrukturisasi keuangan yang sudah dilakukan mulai memperlihatkan hasil dan kontrak pun mulai berdatangan.
PT Dirgantara Indonesia pernah dielu-elukan masyarakat karena menaikkan pamor bangsa Indonesia di bidang teknologi. Pada era 80-an, sewaktu masih bernama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN), institusi itu sudah membuktikan bahwa Indonesia sudah bisa berdiri sejajar dengan negara maju lain karena mampu memproduksi pesawat terbang sendiri.
Tidak hanya itu, IPTN juga mampu membuat helikopter dan senjata, serta menjadi penyedia jasa pelatihan dan pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat pabrikan terkenal dunia. Selain itu perusahaan yang berdiri sejak 1976 itu juga sanggup membuat komponen pesawat untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia seperti Boeing, Airbus, General Dynamic, dan Fokker.
Namun, perusahaan yang pada 1985 berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) itu sempat hampir crash ketika krisis moneter 1998 mengguncang Indonesia. Akibatnya, pada 2000, IPTN direstrukturisasi dengan mengubah nama menjadi PTDirgantara Indonesia (PTDI) hingga kini. Jadilah, sepanjang periode 1998 hingga 2002, PTDI merugi hingga Rp7,25 triliun dan terbelit utang sebesar Rp3 triliun.
Pasca reformasi, Presiden Abdurahman Wahid yang berkuasa saat itu, memberikan tugas khusus kepada Rizal Ramli yang sedang menjabat Direktur Utama Bulog, untuk membenahi PTDI yang sekarat. Hasilnya, mulai 2002, lambat laun kinerja perseroan pesawat terbang ini mulai menunjukkan perbaikan.
Sayangnya ketika BUMN dipimpin Laksama Sukardi di saat Presiden Megawati berkuasa pada 2001, PTDI kembali diterpa kerugian karena sepinya permintaan pembuatan pesawat terbang. Akibatnya, terjadi perampingan karyawan besar-besar saat itu yaitu dari sekitar 16 ribu menjadi hanya sekitar empat ribuan.
Sejak saat itu, pamor PTDI anjlok karena lenyapnya pesanan pembuatan pesawat terbang. Banyak putra terbaik negeri di bidang teknologi pesawat memilih pindah ke luar negeri. Puncaknya ketika tahun 2007, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan PTDI pailit akibat belum mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun dan jaminan hari tua kepada mantan karyawannya. Walhasil, PTDI makin terbebani dengan utang yang akhirnya membuat perusahaan yang pernah dipimpin oleh BJ Habibie ini mati suri.
Pemerintah pun bergerak. Pada tahun yang sama, pemerintah merombak manajemen dan menunjuk Budi Santoso yang sebelumnya sebagai Direktur Utama PT Pindad, menjadi orang nomor satu di sana. Perlahan namun pasti kinerja PTDI mulai menunjukkan perkembangan positif. Hal Itu terlihat dari catatan keuntungan yang mulai muncul sejak 2009 mencapai Rp117,08 miliar, padahal setahun sebelumnya PTDI masih merugi sekitar Rp84,34 miliar.
Manajemen tentu tak mau kehilangan momentum perbaikan ini. Tak heran jika pada 2010 diputuskan untuk mengalokasikan belanja modal (capital expenditure) sebesar Rp225,11 miliar, melonjak tajam dari Rp7,3 miliar pada 2009. Sedangkan belanja operasional ditargetkan mencapai Rp 1,63 triliun, dari sebelumnya Rp 889,7 miliar.
Total nilai penjualan pada 2010 mencapai Rp1,29 triliun yang terdiri atas penjualan dalam negeri Rp538,53 miliar dan penjualan dalam negeri Rp755,25 miliar, dari sebelumnya diperkirakan Rp771 miliar.
Meski begitu neraca keuangan perseroan pada 2010 masih mencatat utang jangka panjang sebesar Rp2,5 triliun, naik dari perkiraan sebelumnya Rp1,79 triliun. Kondisi itu membuat PTDI bisa dikatakan masih sakit.
Untuk menyembuhkannya, maka Budi dan kawan-kawan mengajukan tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) nontunai kepada pemerintah yang dibagi atas dua bagian. Pertama, konversi utang baik luar negeri (SLA) dan pinjaman dari rekening dana investasi (RDI) menjadi PMN senilai Rp1,41 triliun. Kedua, pengesahan penyertaan modal sementara senilai Rp2,38 triliun. Langkah kedua ini diharapkan akan memperbaiki kondisi ekuitas perusahaan yang memang tengah tertekan senilai Rp436 miliar dari revaluasi aset tanah dan selisih nilai PMN dana talangan tahap II senilai Rp18 miliar.
Pengajuan PMN nontunai ini dilakukan sebagai bagian dari upaya PTDI menyehatkan kembali neracanya yang diwarnai ekuitas negatif hingga Rp707 miliar tahun 2010. Dengan adanya PMN nontunai ini, diharapkan akan mendongkrak nilai ekuitasnya menjadi positif Rp1,191 triliun tahun 2011.
Tidak hanya meminta bantuan nontunai, PTDI juga mengajukan PMN dalam bentuk tunai senilai Rp675 miliar kepada DPR. Namun, langkah ini dimintakan untuk menyehatkan posisi kas yang defisit.
Selain itu, PTDI juga meminta tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp2,055 triliun pada 2012. Dana PMN 2012 itu antara lain dibutuhkan untuk investasi senilai Rp 707miliar.
Pesawat-pesawat Ini Telah Diproduksi PT DI, Apa Saja..?
PT Dirgantara Indonesia (Persero) hingga 2012 telah memproduksi tak kurang dari 309 unit pesawat terbang.
Direktur Komersial dan Restrukturisasi PT DI Budiman Saleh, Jumat (14/2/2014) mengatakan pesawat yang paling banyak diproduksi adalah jenis CN235, dengan kontrak hingga 262 unit. Selain itu, apalagi jenis pesawat yang diproduksi perusahaan pelat merah di bidang kedirgantaraan itu?
1. NBO105NBO105 adalah helikopter yang diproduksi sejak tahun 1976, kala itu PT DI masih bernama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Helikopter ini berlisensi MBB Jerman. Hingga 2012, PT DI telah membuat 122 unit NBO105. Namun, saat ini PT DI tidak memproduksi lagi helikopter tersebut. 2.
2. NBELL412NBELL412 adalah helikopter yang diproduksi sejak 1984, ketika PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah nama menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN). Helikopter jenis ini diproduksi dengan menggunakan lisensi dari Bell Textron USA. Hingga 2012 PT DI telah merampungkan 45 unit NBELL412. Namun, kini PT DI tak lagi memproduksi helikopter tersebut. Kendati demikian, PT DI kembali bekerjasama dengan Bell Textron USA untuk memodifikasi, dan sebagai global supplier BELL412 EP. 3.
3. NSA330Hingga 2012, PT DI memproduksi sekitar 11 unit NSA330, yang digunakan oleh TNI AU Republik Indonesia. Helikopter puma ini diproduksi sejak 1982, zaman PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, dengan lisensi dari Aerospatiale Perancis (sekarang Eurocopter). Kini, PT DI tak lagi memproduksi NSA330, diganti menjadi NAS332. 4.
4. NAS332NAS332 juga diproduksi sejak 1982. Hingga 2012, helikopter super puma ini telah diproduksi sebanyak 20 unit, dengan lisensi Eurocopter. 5.
5. NC212Hingga 2012 tercatat sebanyak 104 unit NC212 yang telah diproduksi PT DI. NC212 merupakan pesawat multiguna yang mampu membawa 20 penumpang atau muatan 2.000 kg. NC212 seri 200 dan 400 dapat digunakan sebagai pembuat hujan, patroli maritim dan penjaga pantai. Kementerian Pertanian Thailand menggunakan NC212 sebagai pembuat hujan. Sementara TNI AL Republik Indonesia menggunakan seri 200 sebagai patroli maritim selain CN235. 6.
6. CN235CN235 menjadi salah satu produk unggulan PT DI. Hingga 2012 tercatat sebanyak 62 unit pesawat jenis ini yang telah diproduksi, dari kontrak sebanyak 262 unit. CN235 mulai dirancang bangun sejak 1979 bersama CASA. Pesawat ini dirancang untuk multiguna, mampu melakukan short take off and landing, dan dioperasikan di landasan perintis yang pendek (800 meter). Pesawat ini telah diproduksi dengan berbagai varian, dengan varian pertama seri 10 dan 100. Sementara itu, varian terakhir menggunakan 2 mesin buatan GE tipe CT7-9C yang masing-masing berdaya 1750 SHP. 7.
7. CN295CN295 merupakan pesawat hasil pengembangan CN235 oleh Airbus Military (atau CASA). Badan pesawat lebih panjang 3 meter dibanding CN235, sehingga dapat membawa 40 sampai 50 penumpang.
CN295 digerakkan oleh 2 mesin turboprop Pratt & Whitney. Hingga 2012 PT DI telah mendeliver 2 dari 9 unit kontrak CN295 untuk TNI AU.
PTDI, yang Dulu Buntung Sekarang Untung
BUMN produsen pesawat dan helikopter yaitu PT Dirgantara Indonesia (PTDI) telah memasuki masa kebangkitan. Setelah mengalami masa sulit pasca badai krisis ekonomi tahun 1998. Angin segar pun datang pada BUMN yang bermarkas di Bandung Jawa Barat ini.
Kebangkitan PTDI bermula saat perseroan memperoleh suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 2,075 triliun, serta pasca menjalani program restrukturisasi dan revitalisasi pada tahun 2011. Apalagi PTDI didukung oleh kebijakan pemerintah melalui Perpres 42/2010 tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), sehingga praktis PTDI menjadi prioritas dalam memasok pesawat dan helikopter untuk TNI.
"Dari 2012, pasca restrukturisasi itu pejualan, aset dan ekuitas di PTDI naik," kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh di Kantor Pusat PTDI di Bandung saat ditemui akhir pekan lalu (14/2/2014).
Padahal di 2007, PTDI pernah dinyatakan pailit, namun kemudian putusan pailit dibatalkan di 2008. Selain itu, di 2010, modal (ekuitas) PTDI masih negatif senilai Rp 442 miliar. Namun semenjak menjalani program restrukturisasi dan revitalisasi, keuangan PTDI dari yang dulunya berdarah-darah menjadi positif.
Lalu di 2013, perseroan tercatat memperoleh laba bersih senilai Rp 10,27 miliar dan pejualan Rp 3,51 triliun. Sedangkan total kontrak baru dan lama yang diperoleh hingga akhir 2013 senilai Rp 10,83 triliun.
Sedangkan di 2014, dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), PTDI menargetkan memperoleh laba bersih senilai Rp 66,54 miliar atau naik 548% dari pencapaian 2013. Sementara, perseroan menargetkan penjualan Rp 4,85 triliun dan kontrak sebesar Rp 12,65 triliun.
Kontrak dan penjualan tersebut datang dari lini bisnis penjualan helikopter dan pesawat, jasa pembuatan komponen pesawat dan helikopter (aerostructure), jasa perawatan pesawat (aircraft services), serta teknologi dan pengembangan.
Ke depan, PTDI fokus melakukan jasa engineering dan pengembangan program pesawat jet tempur KFX/IFX dan pesawat N219. Serta melakukan pengembangan pesawat lama yakni CN235 Next Generation (N245) dan pesawat NC212i.
PT DI Akan Membuat 50 Pesawat Tempur untuk TNI-AU
|
F/A-50-pesawat tempur rancangan Korsel (hasil pengembangan dari T-50 Golden Eagle bersama Lockheed Martin) yang membutuhkan mitra pengembangan dari negara lain |
Upaya PT Dirgantara Indonesia Bertahan di Industri Pesawat Terbang Bangkit Lewat Ketiak Sayap Airbus
Dalam beberapa kesempatan, Prof Dr Ing Bacharuddin Jusuf Habibie mengaku sangat kecewa melihat nasib PT Dirgantara Indonesia. Sebab, industri pesawat terbang yang dirintisnya itu kini jalan di tempat. Bagaimana kondisinya sekarang? --- " KITA pernah mengembangkan sendiri pesawat terbang CN-235 dan N-250 untuk membuktikan bahwa SDM Indonesia mampu menguasai dan mengembangkan teknologi secanggih apa pun. Di mana itu semua sekarang?" tegas B.J. Habibie, mantan presiden RI, di depan peserta kuliah umum bertema Filsafat dan Teknologi untuk Pembangunan di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Depok, Jumat lalu (12/3).
Ya, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memang tidak bisa dibandingkan dengan ketika perusahaan itu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) dan Habibie masih menjabat presiden direktur. Saat itu IPTN memiliki 16 ribu karyawan. Kompleks gedung IPTN di kawasan Jalan Pajajaran, Bandung, berdiri megah, menempati lahan seluas 83 hektare.
Yang paling laris adalah pesawat CN-235. Pesawat berkapasitas 35 sampai 40 orang itu paling banyak diorder dari dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, ada pesawat C-212 (kapasitas 19-24 orang). Produk chopper alias helikopter juga tak mau kalah. Ada NBO-105, NAS-332 Super Puma, NBell-412, dan sebagainya. Semua produk burung besi tersebut begitu membanggakan bangsa saat itu.
Namun, persoalan muncul saat krisis ekonomi menggebuk Indonesia pada 1998. Ketika itu, PT DI yang bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) mendapat order membuat pesawat N-250 dari luar negeri. Pesawat terbang ini berkapasitas 50 hingga 64 orang. Sebuah kapasitas ideal untuk penerbangan komersial domestik. Umumnya pesawat domestik di tanah air saat ini menggunakan pesawat dari kelas yang tak jauh berbeda dari N-250.
PT DI menerima pesanan 120 pesawat. Ongkos proyek yang disepakati USD 1,2 milliar. PT DI langsung tancap gas. Ribuan karyawan direkrut. Mesin-mesin pembuat komponen didatangkan. ''Kami berupaya keras menyelesaikan proyek itu sesuai target,'' tutur Direktur Integrasi Pesawat PT DI Budiwuraskito saat ditemui Jawa Pos di Bandung pekan lalu.
Namun, PT DI harus menelan pil pahit. Pemulihan krisis ekonomi bersama International Monetary Fund alias IMF mengharuskan Indonesia menerima sejumlah kesepakatan. Salah satunya, Indonesia tak boleh lagi berdagang pesawat. ''Itu benar-benar memukul kami,'' kata Budiwuraskito, pria Semarang ini.
Padahal, kata Budi, PT DI telanjur merekrut banyak karyawan. Sejumlah teknologi dan peralatan sudah didatangkan. Semua siap produksi. Pesawat contoh bahkan sudah jadi, sudah bisa terbang, dan siap dijual. Tinggal menunggu proses sertifikasi penerbangan. ''Nggak tahu, mungkin ada negara yang takut tersaingi kalau Indonesia bikin pesawat,'' ujarnya mengingat sejarah kelam PT DI itu.
Bayangan menerima duit gede USD 1,2 milliar menguap. Malah, PT DI harus memikirkan cara menghidupi karyawan yang telanjur direkrut. Proyek memang batal, tapi orang-orang yang hidup dari PT DI juga tetap harus dikasih makan. ''Akhirnya, mau tidak mau, kami mem-PHK karyawan secara baik-baik,'' katanya.
Pada 2003, PT DI memutus kerja sembilan ribu lebih karyawan. Jumlah itu terus bertambah. Dari 16 ribu pekerja, PT DI hanya menyisakan tiga ribu pekerja. Baik di bagian produksi maupun manajemen. Kondisi itu semakin membuat PT DI terpuruk. Apalagi, tak ada lagi order pesawat yang datang. Roda perusahaan pun tak berjalan.
Namun, PT DI berupaya mempertahankan diri. Semua pasar yang bisa menghasilkan duit disasar. Mulai pembuatan komponen pesawat hingga industri rumah tangga seperti pembuatan sendok, garpu, dan sejenisnya. Salah satunya membuat alat pencetak panci.
''Pabrik-pabrik pembuat panci itu kan perlu alat pencetak. Biasanya mereka impor dari luar negeri. Mengapa harus impor kalau bisa kita bikinin. Dan, itu lumayan untuk membuat roda perusahaan berjalan,'' kata Budi. Tapi, urusan panci itu tak banyak membantu. Pada 2007, BUMN yang didirikan pada 26 April 1976 itu dinyatakan pailit alias bangkrut. *** PT DI tak lantas almarhum. Pemerintah masih punya keinginan mengembangkannya meski modal yang diberikan tak terlalu deras. Dan, kendati sudah dinyatakan pailit, masih ada rekanan dari mancanegara yang percaya akan kualitas produk PT DI.
Salah satunya British Aerospace (BAE). PT DI mendapat order sebagai subkontrak sayap pesawat Airbus A380 dari pabrik burung besi asal Inggris itu. Juga ada order dari dua negara Timur Tengah enam pesawat jenis N-2130. Apalagi, Indonesia sudah menceraikan IMF. Artinya, PT DI sudah leluasa berdagang pesawat.
Budi menuturkan, order enam pesawat itulah yang bisa dibilang ''menyelamatkan'' PT DI saat itu. Laba dari pesanan itu digunakan sebagai modal pengembangan. Selain itu, PT DI semakin fokus menggarap pasar komponen dan bagian-bagian pesawat dengan menjadi subkontrak atau offset program. Antara lain bagian inboard outer fixed leading edge (IOFLE) dan drive rib alias ''ketiak'' sayap milik Airbus A380.
Airbus A380 adalah pesawat bikinan Airbus SAS (Prancis) yang sudah kondang di jagat dirgantara. Pesawat ini biasanya digunakan untuk penerbangan internasional lintas benua dengan muatan 500 hingga 800 penumpang. ''Kita mencoba meraih untung dengan menjadi subkontrak dari pemain besar,'' kata Budi.
Kondisi PT DI terus membaik. Dalam waktu dekat mereka akan memproduksi pesawat tempur dengan dana urunan bersama pemerintah Korea Selatan (Korsel) sebesar USD 8 milliar. Indonesia menyumbang USD 2 milliar, sedangkan pemerintah Korsel USD 6 milliar. ''Tapi, untuk Indonesia itu akan kita konversikan dalam bentuk tenaga, teknologi, dan pengembangan pesawat tersebut,'' katanya.
Kemampuannya tak jauh berbeda dengan F-16 Fightning Falcon, pesawat tempur kondang buatan Amerika Serikat yang digunakan 24 negara di dunia. Rinciannya, 200 unit untuk Korsel dan 50 untuk Indonesia. ''Proyek ini memakan waktu sampai tujuh tahun,'' kata Budi.
Selain itu, order dari Timur Tengah terus berdatangan. Sejumlah negara memesan CN-235 untuk pesawat pengawas pantai, pengangkut personel militer, dan pemantau perbatasan. Dari dalam negeri, Kementerian Pertahanan (Kemhan) juga memesan enam unit helikopter dan Badan SAR Nasional (Basarnas) empat unit.
Budi mengakui, tren industri dirgantara di Indonesia terus naik kendati perlahan. Paling tidak, tujuh tahun ke depan, PT DI bisa meraup laba yang lumayan dari membuat pesawat. Sebenarnya, kata Budi, keuntungan itu bisa didongkrak bila ada keberanian mencari pinjaman. Tapi, itu bakal sulit. ''Tidak banyak bank yang mau. Sebab, risikonya terlalu tinggi. Padahal, semakin tinggi risiko, janji revenue juga besar,'' kata Budi yang lulusan Teknik Penerbangan, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan menyelesaikan gelar MBA di Belanda itu.
Strategi pengembangan PT DI saat ini, kata Budi, tak bisa terlalu ekspansif. PT DI memilih berjalan perlahan dengan memanfaatkan margin keuntungan sebagai modal pengembangan. ''Begini saja, lebih aman,'' kata Budi lantas tersenyum.
PT. DI Bukukan Penjualan Pesawat Rp. 3.3 T Di 2013
Pabrikan pesawat dunia seperti Boeing dan Airbus pada 2013 mampu memproduksi dan mengirimkan ratusan pesawat ke berbagai penjuru dunia. Bagaimana dengan pabrik pesawat dan helikopter asal Indonesia, yaitu PT Dirgantara Indonesia (PTDI)?
PTDI merupakan BUMN yang bermarkas di Bandung Jawa Barat, mampu menyelesaikan perakitan dan pengiriman hingga 5 unit pesawat terbang dan 19 helikopter pesanan Kementerian Pertahanan (TNI AD, TNI AL, TNI AU), Kepolisian hingga Basarnas.
"Pesawat CN 295 sebanyak 3 unit, CN 235 sebanyak 2 unit, helikopter SAR AS365 N3+ Dauphin sebanyak 2 unit, helikopter Bell 412 EP sebanyak 17 unit," kata Manajer Komunikasi PTDI Sonny Saleh Ibrahim, Selasa (14/1/2014).
PTDI juga meraih kontrak baru pada 2013 sebesar Rp 4,4 triliun dan penjualan sebesar Rp 3,3 triliun. Untuk tahun 2014 hingga 2015, PTDI menargetkan bisa menyelesaikan dan mengirimkan berbagai pesanan pesawat dan helikopter ke dalam dan luar negeri.
Pesanan pesawat dan helikopter yang harus diselesaikan antara lain: CN 235 Patroli Maritim sebanyak 2 unit ke TNI AL, CN 235 MPA sebanyak 1 unit ke TNI AU, NC 212-200 sebanyak 1 unit ke TNI AU, CN 295 sebanyak 6 unit ke TNI AU, NC 212-400 sebanyak 2 unit ke Militer Filipina, NC 212-400 sebanyak 1 unit ke Thailand, helikopter NAS Super Puma sebanyak 2 unit ke TNI AU, helikopter EC725 Super Cougar sebanyak 6 unit ke TNI AU, helikopter Bell 412 EP sebanyak 16 unit ke TNI AD, helikopter SAR AS365 N3+ Dauphin sebanyak 2 unit ke Basarnas, helikopter AS 550 Fennec sebanyak 12 unit ke TNI AD, helikopter AS-565 Panther sebanyak 11 unit ke TNI AL.
Kolaborasi PT. DI Dan Lapan
Lapan dan PT Dirgantara Indonesia (DI) menandatangani kontrak pengembangan pesawat N219. Penandatanganan berlangsung di kantor pusat Lapan, Rawamangun Jakarta Timur, Selasa (25/2). Pengembangan pesawat ini akan menjadi titik kebangkitan industri pesawat berpenumpang Indonesia.
Direktur Utama PT DI mengatakan bahwa, kerja sama dalam pembangunan pesawat ini merupakan tonggak sejarah bangsa dan instansi pemerintah. “Kerja sama ini juga menjadi pintu pembuka bagi bangsa ini sehingga negara Indonesia dapat menghasilkan model pesawat terbang yang bisa bersaing di dunia. Selain itu, pembuatan N219 juga menjadi wadah untuk mewariskan kemampuan pembangunan pesawat terbang kepada generasi muda.” ujarnya.
Sementara itu, dalam sambutannya, Deputi Bidang Teknologi Dirgantara Lapan, Prof. Dr. Soewarto Hardhienata, mengatakan bahwa program pengembangan N219 merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia baik di Lapan dan PT DI di bidang pengelolaan pesawat terbang.
N219 merupakan pesawat yang sepenuhnya dirancang oleh putera-puteri Indonesia. Pesawat ini merupakan pesawat regional komuter yang dirancang bersama Lapan dan PT DI dan akan diproduksi PTDI. Saat ini, pengembangan N219 telah mencapai tahap preliminary design dan siap memasuki detail design dan pembuatan komponen. Integrasi akan dilaksanakan pada 2015 dan direncanakan terbang pada 2016.
Pesawat berpenumpang 19 orang ini akan memenuhi kebutuhan transportasi di Indonesia. Wilayah Indonesia memerlukan alat transportasi udara untuk konektivitas antar pulau agar lebih efisien. Pesawat-pesawat kecil yang hanya membutuhkan landasan kecil dianggap paling cocok untuk dapat menjadi penghubung bagi daerah terpencil di nusantara.
N219 diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah terpencil dan perbatasan melalui ketersediaan sarana transportasi udara perintis. Pengembangan pesawat ini juga akan menumbuhkan industri penerbangan nasional, industri pendukung, dan operator pesawat terbang. Pada akhirnya, pengembangan pesawat ini juga akan meningkatkan kemandirian nasional dalam produksi sarana transportasi udara.
PT Dirgantara Kucurkan Rp100 M Kembangkan N219
Direktur Utama (Dirut) PT Dirgantara Indonesia (DI) Budi Santoso menyebutkan bahwa pihaknya mengucurkan modal sebesar Rp100 miliar untuk pengembangan Pesawat N219.
"Biaya pengembangan ini sebagian besar ditanggung pemerintah. Melalui anggaran yang kita kucurkan ke LAPAN yaitu Rp400 Miliar,kalau dari PT DI Rp100 miliar lebih, sampai 2015," ujar Dirut PTDI Budi Santoso di Lantai 3 Kantor Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Selasa (25/2/2014).
Ia juga menjelaskan skema Pesawat N219 untuk terbang udara harus mendapat sertifikasi dari Kementerian Perhubungan yang rencananya akan keluar di 2016 dan siap mengudara pada 2017.
"Kita arahkan 2016 sertifikasi, setelah dapat sertifikasinya kelaikan dari perhubungan, mudah-mudahan 2017 baru kita operasikan, kita jual operator," jelasnya.
Selain itu, Kepala Program N-219 dari LAPAN Agus Aribowo mengatakan pesawat asli rancangan dari perusahaan plat merah ini dijual dengan harga antara US$3,8 juta hingga US$4,5 juta atau sekitar Rp38 miliar hingga Rp45 miliar.
Sebagai infomasi, PTDI juga mendapatkan pesanan pesawat dari Lion Air yang memesan paling banyak yaitu 50 pesawat N219, lalu ada Nuansa Buana Air (NBA) 30 dan PT Merpati Nusantara Airlines 20 unit.
Juga Pemerintah Daerah (Pemda) Papua dan Papua Barat memesan 15 pesawat N219. Selain itu, Pemda Aceh masih dalam negosiasi 6 pesawat, sedangkan Pemda di Sulawesi 6 pesawat dan Riau 4 pesawat.
Setelah N219, PT DI Dan Lapan Bakal Buat N245 Dan N270
PT Dirgantara Indonesia (PT DI) makin berambisi mengembangkan dan membuat pesawat produksi dalam negeri. Walau sertifikasi untuk pesawat N219 belum tuntas, PT DI sudah menyampaikan ambisinya mengembangkan pesawat N245 dan N270.
Deputi Bidang Teknologi Lapan, Soewarto Hardhienata mengatakan, dalam pengembangan pesawat ini, Lapan akan membantu pembiayaan dengan timbal balik SDM bidang mesin yang dimiliki Lapan akan bekerja di PT DI.
"Program ini anugerah besar sekaligus merupakan tantangan, taruhan. Kalau ini jalan mulus maka pemerintah dan masyarakat akan percaya kepada kita, menjalani penerbangan selanjutnya," ucap Soewarto di kantor pusat Lapan, Jakarta, Selasa (25/2).
Pesawat N245 merupakan pesawat dengan dua engine (mesin) dengan kapasitas angkut 45 penumpang. Sedangkan N270 merupakan pesawat dua mesin dan punya daya angkut lebih besar yakni 70 penumpang. Pengembangan dua pesawat ini rencananya dilakukan pada 2017.
"Sekarang belum ada anggaran, mungkin pertengahan 2016 kita ajukan. Pengembangan setelah selesai sertifikasi N219 (2016)," tegasnya.
Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan Gunawam Setyo Prabowo menambahkan, kerja sama pengembangan pesawat N245 dan N270 dengan PT DI akan sama dengan pengembangan N219.
"Mirip seperti ini dan setelah N 219 selesai. Kita ikut pengembangan sampai sertfikasi dengan memasukkan enginer kita. Kita ikut dalam model perencanaan," tutupnya.
PT DI Raup Untung dari Pesawat dan Helikopter Tahun 2013
Pabrikan pesawat dunia seperti Boeing dan Airbus pada 2013 mampu memproduksi dan mengirimkan ratusan pesawat ke berbagai penjuru dunia. Bagaimana dengan pabrik pesawat dan helikopter asal Indonesia, yaitu PT Dirgantara Indonesia (PTDI)?
PTDI merupakan BUMN yang bermarkas di Bandung Jawa Barat, mampu menyelesaikan perakitan dan pengiriman hingga 5 unit pesawat terbang dan 19 helikopter pesanan Kementerian Pertahanan (TNI AD, TNI AL, TNI AU), Kepolisian hingga Basarnas.
"Pesawat CN 295 sebanyak 3 unit, CN 235 sebanyak 2 unit, helikopter SAR AS365 N3+ Dauphin sebanyak 2 unit, helikopter Bell 412 EP sebanyak 17 unit," kata Manajer Komunikasi PTDI Sonny Saleh Ibrahim kepada detikFinance, Selasa (14/1/2014).
PTDI juga meraih kontrak baru pada 2013 sebesar Rp 4,4 triliun dan penjualan sebesar Rp 3,3 triliun. Untuk tahun 2014 hingga 2015, PTDI menargetkan bisa menyelesaikan dan mengirimkan berbagai pesanan pesawat dan helikopter ke dalam dan luar negeri.
Pesanan pesawat dan helikopter yang harus diselesaikan antara lain: CN 235 Patroli Maritim sebanyak 2 unit ke TNI AL, CN 235 MPA sebanyak 1 unit ke TNI AU, NC 212-200 sebanyak 1 unit ke TNI AU, CN 295 sebanyak 6 unit ke TNI AU, NC 212-400 sebanyak 2 unit ke Militer Filipina, NC 212-400 sebanyak 1 unit ke Thailand, helikopter NAS Super Puma sebanyak 2 unit ke TNI AU, helikopter EC725 Super Cougar sebanyak 6 unit ke TNI AU, helikopter Bell 412 EP sebanyak 16 unit ke TNI AD, helikopter SAR AS365 N3+ Dauphin sebanyak 2 unit ke Basarnas, helikopter AS 550 Fennec sebanyak 12 unit ke TNI AD, helikopter AS-565 Panther sebanyak 11 unit ke TNI AL.